MAKALAH BAHASA INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Kenakalan
remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku
menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena
terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari
nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai
sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan
konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur
baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti
telah menyimpang.
Untuk
mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku
menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si
pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang
menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal
yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang
melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan.
Becker (Soerjono Soekanto, 1988: 26), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk
mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat
demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti
mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada
kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab
orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk
menyimpang.
Masalah
sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa
melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan
individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi,
perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil
dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di
kalangan anak dan remaja (Kauffman, 1989: 6) mengemukakan bahwa perilaku
menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku
disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak
layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari
transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya.
Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari
transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.
Proses
sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan
menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi
kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan
pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan
kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat
yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai
karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986: 400), mengatakan tingkat kriminalitas
yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah kota
yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat
kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil.
Sutherland dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi
kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka
seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan
nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan
tindakan kriminal.
Mengenai
pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang
bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial
sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986: 10) bahwa seorang dapat
menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami
gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan
mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan
terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang
disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan
surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku
menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang
biasa dan wajar.
Dalam kurun waktu kurang dari dasawarsa terakhir,
kenakalan remaja semakin menunjukkan trend yang amat memprihatinkan. Kenakalan
remaja yang diberitakan dalam berbagai forum dan media dianggap semakin
membahayakan. Berbagai macam kenakalan remaja yang ditunjukkan akhir-akhir ini
seperti perkelahian secara perorangan atau kelompok, mabuk-mabukan, pemerasan,
pencurian, perampokan, penganiayaan dan penyalahgunaan obat-obatan seperti
narkotik (narkoba).
Kenakalan remaja diartikan sebagai suatu outcome
dari suatu proses yang menunjukkan penyimpangan tingkah laku atau pelanggaran
terhadap norma-norma yang ada. Kenakalan remaja disebabkan oleh berbagai faktor
baik faktor pribadi, faktor keluarga yang merupakan lingkungan utama (Willis,
1994), maupun faktor lingkungan sekitar yang secara potensial dapat membentuk
perilaku seorang anak (Mulyono, 1995).
Berdasarkan
hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya
kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orangtua sebagai figur tauladan bagi
anak (Hawari, 1997). Selain itu suasana keluarga yang meninbulkan rasa tidak
aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat
menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
Menurut
Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994) orangtua dari remaja nakal cenderung memiliki
aspirasi yang minim mengenai anak-anaknya, menghindari keterlibatan keluarga
dan kurangnya bimbingan orangtua terhadap remaja. Sebaliknya, suasana keluarga
yang menimbulkan rasa aman dan menyenangkan akan menumbuhkan kepribadian yang
wajar dan begitu pula sebaliknya.
1.2
Permasalahan
Dalam
penulisan makalah ini, penulis merumuskan masalah yang dihadapi adalah
1. Apa penyebab terjadinya
kenakalan remaja ?
2. Bagaimana cara mengatasi
kenakalan remaja .
1.3
Tujuan Permasalahan
Tujuan
permasalahan yang dihadapi yang terdapat dalam makalah ini adalah
1.
Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja;
2.
Mengetahui cara mengatasi kenakalan remaja.
1.4
Metode Penulisan
Dalam
memperoleh data atau informasi yang akan digunakan untuk penulisan makalah ini,
penulis menggunakan metode studi kepustakaan yakni dilakukan dengan mengambil
referensi dari buku-buku dan internet yang relevan dengan topik penulisan
makalah ini sebagai dasar untuk mengetahui dan memperkuat teori yang digunakan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Kenakalan Remaja
Kenakalan
remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana
yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri
dan orang-orang di sekitarnya. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja
adalah mereka yang berusia 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah
melampaui masa kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat
dikatakan dewasa. Ia berada pada masa transisi.
Kenakalan
remaja sering disebut juga dengan Juvenile Delinquency ialah perilaku jahat
(dursila) atau kejahatan anak-anak muda. Anak-anak muda yang jahat itu disebut
juga sebagai anak cacat secara sosial.
Juvenile
berasal dari bahasa Latin “Juvenilus”, artinya anak-anak, anak muda, ciri
karakteristik pada masa remaja dan Delinquent berasal dari kata Latin
“Delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas lagi
maknanya menjadi jahat.
Definisi
kenakalan remaja menurut para ahli adalah sebagai berikut.
Kenakalan
Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency
merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu
bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang
menyimpang".
"Kenakalan
remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat
diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal."
Mengenal
siapa remaja dan apa problema yang dihadapinya adalah suatu keharusan bagi
orang tua. Dengan bekal pengetahuan ini orang tua dapat membimbing anaknya
menataki masa-masa krisis tersebut dengan mulus. Hal ini sangat dirasakan oleh
semua karena di bahu remaja masa kini terletak tanggung jawab moral sebagai
generasi penerus, menggantikan generasi yang ada saat ini. Mereka inilah yang
kelak berperan menjadi sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas,
menjadi aset nasional dan tumpuan harapan bangsa dalam kompetisi global, yang
tentunya kian hiruk pikuk di abad ke XXI.
2.2
Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja
Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan
remaja adalah
·
Melakukan
seks bebas sebagai akibat dari pergaulan bebas.
·
Kebut-kebutan
dijalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa diri
sendiri serta orang lain.
·
Membolos
sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan dan kadang-kadang pergi ke pasar
untuk bermain game.
·
Memakai
dan menggunakan bahan narkotika bahkan hal yang mereka anggap ringan yakni
merokok dan minuman keras.
·
Perjudian
dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, seperti permainan domino, remi
dan lain-lain.
·
Perkelahian
antar geng, antar kelompok, antar sekolah, sehingga harus melibatkan pihak yang
berwajib.
2.3
Periode Perkembangan Remaja
Masa
kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak lebih
hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan dari
tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap masa
pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri. Masing-masing mempunyai kelebihan
dan kekuranga. Remaja akan mengalami periode perkembangan fisik dan psikis
sebagai berikut :
1. Masa Pra – Pubertas (12 - 13 tahun)
Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa
peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih
singkat dibandingkan dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan
yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai
berkembangnya organ- organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja.
Di samping itu, perkembangan intelektualitas
yang sangat pesat juga terjadi pada fase ini. Akibatnya, remaja-remaja ini
cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering
diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua,
mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai
"hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala
yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan
kebiasaan hidup pujaan tersebut.
Selain itu, pada masa ini remaja juga
cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani
mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat
mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan.
Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi. Mereka lebih senang
bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya.
Mereka juga semakin berani menentang tradisi
orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun
peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh
mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin
kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan
cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan
memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke
rumah saudara.
Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh
pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka
tidak mampu menjelmakan keinginannya.
Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika
orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang
terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus
ingat, bahwa masalah yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu
merupakan masalah sepele, tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang
sangat-sangat berat. Orang tua tidak boleh berpikir, "Ya ampun... itu kan
hal kecil. Masa kamu tidak bisa menyelesaikannya ? Bodoh sekali kamu !",
dan sebagainya. Tetapi perhatian seolah-olah orang tua mengerti bahwa masalah
itu berat sekali bagi remajanya, akan terekam dalam otak remaja itu bahwa orang
tuanya adalah jalan keluar ang terbaik baginya. Ini akan mempermudah orang tua
untuk mengarahkan perkembangan psikis anaknya.
2. Masa Pubertas (14 - 16 tahun)
Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana
perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan
perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia
memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil
akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan
seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai
dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai
dengan datangnya mimpi basah yang pertama.
Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal
ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang
baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik,
perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan
seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan
gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini.
Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang
gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah
labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar
diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka
melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini
semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat
peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri.
3. Masa Akhir Pubertas (17 - 18 tahun)
Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa
sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki
maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan
harga diri mereka. Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa
ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan
remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan
fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan
psikologis belum tercapai sepenuhnya.
4. Periode Remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai
kematangan yang sempurna, baik segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan
mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu
idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Mereka mulai menyadari bahwa
mengkritik itu lebih mudah daripada menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan
mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya.
Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase
ini.
2.4 Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja
Perilaku
kenakalan remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal)
maupun faktor dari luar (eksternal).
1. Faktor Internal
(Dalam)
a. Reaksi Frustasi Diri
Dengan semakin pesatnya usaha pembangunan,
modernisasi yang berakibat pada banyaknya anak remaja yang tidak mampu
menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan sosial itu. Mereka lalu mengalami
banyak kejutan, frustasi, ketegangan batin dan bahkan sampai kepada gangguan
jiwa.
b. Gangguan Pengamatan dan Tanggapan Pada Anak
Remaja
Adanya gangguan pengamatan dan tanggapan di
atas sangat mengganggu daya adaptasi dan perkembangan pribadi anak yang sehat.
Gangguan pengamatan dan tanggapan itu, antara
lain : halusinasi, ilusi dan gambaran semua.
Tanggapan anak tidak merupakan pencerminan
realitas lingkungan yang nyata, tetapi berupa pengolahan batin yang keliru,
sehingga timbul interpretasi dan pengertian yang salah. Sebabnya ialah semua
itu diwarnai harapan yang terlalu muluk, dan kecemasan yang berlebihan.
c. Gangguan Berfikir dan Intelegensi Pada Diri
Remaja
Berfikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi
yang sehat dan adaptasi yang wajar terhadap tuntutan lingkungan. Berpikir juga
penting bagi upaya pemecahan kesulitan dan permasalahan hidup sehari-hari. Jika
anak remaja tidak mampu mengoreksi pekiran-pekirannya yang salah dan tidak
sesuai dengan realita yang ada, maka pikirannya terganggu.
d. Gangguan Perasaan Pada Anak Remaja
Perasaan memberikan nilai pada situasi
kehidupan dan menentukan sekali besar kecilnya kebahagiaan serta rasa kepuasan.
Perasaan bergandengan dengan pemuasan terhadap harapan, keinginan dan kebutuhan
manusia. Jika semua tadi terpuaskan, orang merasa senang dan bahagia.
Gangguan-gangguan fungsi perasaan tersebut,
antara lain :
1) Inkontinensi emosional ialah tidak
terkendalinya perasaan yang meledak-ledak, tidak bisa dikekang.
2) Labilitas emosional ialah suasana hati yang
terus menerus berganti-ganti dan tidak tetap. Sehingga anak remaja akan cepat
marah, gelisah, tidak tenang dan sebagainya.
3) Ketidak pekaan dan mempunyai perasaan biasa
disebabkan oleh sejak kecil anak tidak pernah diperkenalkan dengan kasih
sayang, kelembutan, kebaikan dan perhatian.
4) Kecemasan merupakan bentuk “ketakutan” pada
hal-hal yang tidak jelas, tidak riil, dan dirasakan sebagai ancaman yang tidak
bisa dihindari.
2. Faktor Eksternal
(Luar)
Selain faktor dari dalam ada juga faktor yang
datang dari luar anak tersebut, antara lain :
a. Keluarga
Tidak diragukan bahwa keluarga memegang
peranan penting dalam pembentukan pribadi remaja dan menentukan masa depannya.
Mayoritas remaja yang terlibat dalam kenakalan atau melakukan tindak kekerasan
biasanya berasal dari keluarga yang berantakan, keluarga yang tidak harmonis di
mana pertengkaran ayah dan ibu menjadi santapan sehari-hari remaja.
Bapak yang otoriter, pemabuk, suka menyiksa
anak, atau ibu yang acuh tak acuh, ibu yang lemah kepribadian dalam atri kata
tidak tegas menghadapi remaja, kemiskinan yang membelit keluarga, kurangnya
nilai-nilai agama yang diamalkan dll semuanya menjadi faktor yang mendorong
remaja melakukan tindak kekerasan dan kenakalan.
Struktur keluarga anak nakal pada umumnya
menunjukkan beberapa kelemahan/cacat di pihak ibu, antara lain ialah sebagai
berikut :
1) Ibu ini tidak hangat, tidak mencintai
anak-anaknya, bahkan sering membenci dan menolak anak laki-lakinya, sama sekali
tidak acuh terhadap kebutuhan anaknya.
2) Ibu kurang mempunyai kesadaran mengenai
fungsi kewanitaan dan keibuannya; mereka lebih banyak memiliki sifat ke
jantan-jantanan.
3) Reaksi terhadap kehidupan anak-anaknya
tidak adekuat, tidak cocok, tidak harmonis. Mereka tidak sanggup memenuhi kebutuhan
anak-anaknya, baik yang fisik maupun yang psikis sifatnya.
4) Kehidupan perasaan ibu-ibu tadi tidak
mantap, tidak konsisten, sangat mudah berubah dalam pendiriannya, tidak pernah
konsekuen., dan tidak bertanggung jawab secara moral.
Beberapa kelemahan di pihak ayah
yang mengakibatkan anaknya menjadi nakal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Mereka menolak anak laki-lakinya.
2) Ayah-ayah tadi hampir selalu absen atau
tidak pernah ada di tengah keluarganya, tidak perduli, dan sewenang-wenang terhadap
anak dan istrinya.
3) Mereka pada umumnya alkoholik, dan mempunyai
prestasi kriminalitas, sehingga menyebarkan perasaan tidak aman (insekuritas)
kepada anak dan istrinya.
4) Ayah-ayah ini selalu gagal dalam memberikan
supervisi dan tuntunan moral kepada anak laki-lakinya.
5) Mereka mendidik anaknya dengan disiplin
yang terlalu ketat dan keras atau dengan disiplin yang tidak teratur, tidak konsisten.
Selain itu, ada juga beberapa faktor
yang datang dari keluarga, antara lain :
1) Rumah tangga berantakan. Bila rumah tangga
terus menerus dipenuhi konflik yang serius, menjadi retak, dan akhirnya
mengalami perceraian, maka mulailah serentetan kesulitan bagi semua anggota
keluarga, terutama anak-anak. Pecahlah harmonis dalam keluarga, dan anak
menjadi sangat bingung, dan merasakan ketidakpastian emosional. Dengan rasa cemas,
marah dan risau anak mengikuti pertengkaran antara ayah dengan ibu. Mereka
tidak tahu harus memihak kepada siapa. Batin anak menjadi sangat tertekan,
sangat menderita, dan merasa malu akibat ulah orang tua mereka. Ada perasaan
ikut bersalah dan berdosa, serta merasa malu terhadap lingkungan.
2) Perlindungan-lebih dari orang tua. Bila
orang tua terlalu banyak melindungi dan memanjakan anak-anaknya, dan menghindarkan
mereka dari berbagai kesulitan atau ujian hidup yang kecil, anak-anak pasti
menjadi rapuh dan tidak akan pernah sanggup belajar mandiri. Mereka akan selalu
bergantung pada bantuan - orang tua, merasa cemas dan bimbang ragu selalu;
aspirasi dan harga-dirinya tidak bisa tumbuh berkembang. Kepercayaan dirinya
menjadi hilang.
3) Penolakan orang tua. Ada pasangan
suami-istri yang tidak pernah bisa memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu.
Mereka ingin terus melanjutkan kebiasaan hidup yang lama, bersenang-senang
sendiri seperti sebelum kawin. Mereka tidak mau memikirkan konsekuensi dan tanggung
jawab selaku orang dewasa dan orang tua. Anak-anaknya sendiri ditolak, dianggap
sebagai beban, sebagai hambatan dalam meniti karir mereka. Anak mereka anggap
cuma menghalang-halangi kebebasan bahkan cuma merepotkan saja.
4) Pengaruh buruk dari orang tua. Tingkah-laku
kriminal, a-susila (suka main perempuan, korup, senang berjudi, sering
mabuk-mabukan, kebiasaan minum dan menghisap rokok berganja, bertingkah
sewenang-wenang, dan sebagainya) dari orang tua atau salah seorang anggota
keluarga bisa memberikan pengaruh menular atau infeksius kepada anak. Anak jadi
ikut-ikutan kriminal dan a-susila, atau menjadi anti-sosial. Dengan begitu
kebiasaan buruk orang tua mengkondisionir tingkah-laku dan sikap hidup
anak-anaknya.
b. Lingkungan Sekolah yang Tidak Menguntungkan
Sekolah kita sampai waktu sekarang
masih banyak berfungsi sebagai "sekolah dengar" daripada memberikan
kesempatan luas untuk membangun aktivitas, kreativitas dan inventivitas anak.
Dengan demikian sekolah tidak membangun dinamisme anak, dan tidak merangsang
kegairahan belajar anak.
Selanjutnya, berjam-jam lamanya
setiap hari anak-anak harus melakukan kegiatan yang tertekan, duduk, dan pasif
mendengarkan, sehingga mereka menjadi jemu, jengkel dan apatis.
Di kelas, anak-anak-terutama para remajanya
sering mengalami frustasi dan tekanan batin, merasa seperti dihukum atau
terbelenggu oleh peraturan yang "tidak adil". Di satu pihak pada
dirinya anak ada dorongan naluriah untuk bergiat, aktif dinamis, banyak
bergerak dan berbuat; tetapi di pihak lain anak dikekang ketat oleh disiplin
mati di sekolah serta sistem regimentasi dan sistem sekolah-dengar.
Ada pula guru yang kurang simpatik,
sedikit memiliki dedikasi pada profesi, dan tidak menguasai didaktik-metodik
mengajar. Tidak jarang profesi guru/dosen dikomersialkan, dan pengajar hanya
berkepentingan dengan pengoperan materi ajaran belaka. Perkembangan kepribadian
anak sama sekali tidak diperhatikan oleh guru, sebab mereka lebih
berkepentingan dengan masalah mengajar atau mengoperkan informasi belaka.
c. Media Elektronik
Tv, video, film dan sebagainya nampaknya ikut
berperan merusak mental remaja, padahal mayoritas ibu-ibu yang sibuk menyuruh
anaknya menonton tv sebagai upaya menghindari tuntutan anak yang tak ada
habisnya. Sebuah penelitian lapangan yang pernah dilakukan di Amerika
menunjukkan bahwa film-film yang memamerkan tindak kekerasan sangat berdampak
buruk pada tingkah laku remaja. Anak yang sering menonton film-film keras lebih
terlibat dalam tindak kekerasan ketika remaja dibandingkan dengan
teman-temannya yang jarang menonton film sejenis. Polisi Amerika menyebutkan
bahwa sejumlah tindak kekerasan yang pernah ditangani polisi ternyata dilakukan
oleh remaja persis sama dengan adegan-adegan film yang ditontonnya. Ternyata
anak meniru dan mengindentifikasi film-film yang ditontonnya.
d. Pengaruh Pergaulan
Di usia remaja, anak mulai meluaskan pergaulan
sosialnya dengan teman-tema sebayanya. Remaja mulai betah berbicara berjam jam
melalui telepon. Topik pembicaraan biasanya seputar pelajaran, film, tv atau
membicarakan cowok / cewek yang ditaksir dsb.
Hubungan sosial di masa remaja ini dinilai
positif karena bisa mengembangkan orientasi remaja memperluas visi pandang dan
wawasan serta menambah informasi, bahkan dari hubungan sosial ini remaja
menyerap nilai-nilai sosial yang ada di sekelilingnya. Semua faktor ini
menjadi penyokong dalam pembentukan kepribadiannya dan menambah rasa percaya
diri karena pengaruh pergaulan yang begitu besar pada diri remaja, maka
hubungan remaja dengan teman sebayanya menentukan kualitas remaja itu. Kalau
ini disadari oleh remaja, maka dengan sadar remaja akan menyeleksi teman
pergaulannya.
2.5 Mengatasi Kenakalan Remaja
Kenakalan
remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses
perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya.
Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan
perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara sosiologis,
kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan
dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali
didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak
menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan,
seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
Mengatasi
kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu.
Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua,
teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan
jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan,
konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka
harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya.
Pertanyaannya
: tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu
pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ?
Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah
yang sama. Pemerintah-kah ? atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya.
Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan
perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi
kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk
mengatasi kenakalan remaja :
- Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
- Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
- Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
- Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
- Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kenakalan
remaja adalah suatu outcome dari suatu proses yang menunjukkan
penyimpangan tingkah laku atau pelanggaran terhadap norma-norma yang ada.
Kenakalan remaja disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor internal (reaksi
frustasi diri; gangguan pengamatan dan tanggapan pada anak remaja; gangguan
berfikir dan intelgensia pada diri remaja (gangguan perasaan pada anak remaja),
maupun faktor eksternal (keluarga, lingkungan sekolah yang kurang
menguntungkan, media elektronik, pengaruh pergaulan) yang secara potensial
dapat membentuk perilaku seorang anak.
Mengatasi
kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu.
Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua,
teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan
jiwa remaja tersebut. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kenakalan
remaja :
- Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
- Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
- Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
- Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
- Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.
3.2
Saran
Dengan mempelajari ini, kita dapat lebih mengetahui apa saja
bentuk-bentuk dan faktor
faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja.
Sebagai seorang remaja, kita seharusnya bisa
bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada perkembangan kenakalan remaja yang
sudah memprihatinkan saat ini. Oleh karena itu sebagai salah satu bentuk
implementasi dari tanggung jawab tersebut terhadap kenakalan remaja adalah
dengan berusaha semaksimal mungkin menjadi remaja yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Eitzen,
Stanlen D. 1986. Social Problems. Allyn and Bacon inc, Boston, Sydney,
Toronto.
Kaufman,
James M. 1989. Characteristics of Behaviour Disorders of Children and Youth.
Merril Publishing Company, Columbus, London, Toronto.
Mulyono, B. 1995. Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja
dan Penanggulangannya. Kanisius, Yogyakarta.
Soerjono,
Soekanto. 1988. Sosiologi Penyimpangan. Rajawali, Jakarta.
Willis, S. 1994. Problema Remaja dan Pemecahannya.
Penerbit Angkasa, Bandung.
0 Response to "MAKALAH BAHASA INDONESIA"
Post a Comment